Implementasi Pancasila dalam Ekonomi Kerakyatan

You are currently viewing Implementasi Pancasila dalam Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Eric Fernardo*

 

Indonesia baru saja memperingati kemerdekaannya yang ke-72 tahun. Namun begitu, masih banyak catatan dalam upaya mengisi kemerdekaan. Terdapat dua janji kemerdekaan yang sampai hari ini belum dilunasi, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sampai Maret 2017 masih terdapat 27,7 Juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Adapun rata-rata garis kemiskinan Indonesia ada di angka Rp372.000. Ini artinya sekitar 10% penduduk Indonesia konsumsi perbulannya masih di bawah 400 ribu rupiah perbulan. Wow! Angka yang fantastis bukan?

Dalam catatan penulis, masih banyaknya saudara sebangsa dan setanah air kita yang hidup di bawah garis kemiskinan tersebut disebabkan oleh kurangnya implementasi Pancasila dalam ekonomi kerakyatan kita. Pembangunan Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh lembaga-lembaga donor serta lembaga keuangan internasional, Indonesia hari ini bergantung pada hutang luar negeri. Padahal untuk sebuah negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam. Sejatinya Indonesia telah memiliki resep yang disepakati para pendiri bangsa untuk menjadi konsensus kebangsaan kita di semua lini, tak terkecuali ekonomi. Pada kesempatan ini, penulis akan menjabarkan implementasi Pancasila dalam ekonomi kerakyatan.

Pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa; dalam pengimplementasiannya baik pemerintah, swasta (pengusaha, investor) maupun pekerja harus memiliki sikap-sikap yang dilandaskan etika dan moral. Nilai-nilai kejujuran, menjaga integritas umumnya diajarkan di semua agama dan hal tersebut harus dipegang dan dilaksanakan secara utuh oleh seluruh pemangku kebijakan yang ada. Secara singkat, ekonomi kerakyatan harus dilaksanakan oleh aktor-aktor ekonomi politik yang bersih, berintegritas dan dapat dipercaya.

Kedua, sila kemanusiaan yang adil dan beradab; perlu diimplementasikan dalam hal yang sangat konkrit. Misalnya, upah minimum di suatu wilayah harus betul-betul mempertimbangkan standar kehidupan yang berlaku, selain itu rekrutmen yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dalam hal ini betul-betul secara meritokrasi, sehingga para pelaku ekonomi kita merupakan orang-orang yang terbaik. Unsur kekeluargaan dan aspek-aspek subyektif lainnya dalam patut dihindari, bila Indonesia ingin menerapkan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam ekonomi kerakyatan.

Ketiga, persatuan Indonesia; jika diimplementasikan maka bentuknya berupa pemberian akses rekrutmen pegawai maupun izin usaha yang tidak lagi membeda-bedakan Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan (SARA). Setiap anak bangsa di Indonesia memiliki akses serta kesempatan yang sama baik itu pendidikan, usaha maupun mengabdi di pemerintahan.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; untuk mengimplementasikan hal ini dalam aspek ekonomi, Indonesia harus mengedepankan pembangunan ekonomi yang basisnya akar-rumput (bottom-up). Rakyat yang ada di akar rumput pada hakikatnya memiliki peran untuk membangun bangsa, gotong-royong antar warga dalam pengembangan usaha juga merupakan aspek kuncu penerapan sila ini.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dalam sila ini, berarti kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan bahan pokok merupakan hal-hal yang harus menjadi tanggung jawab negara. Penyediaan kebutuhan dasar (basic needs) ini penting untuk menciptakan etos kerja di masyarakat yang inovatif serta lebih produktif. Manusia yang kebutuhan dasarnya belum tercukupi dengan baik, umumnya akan sulit untuk mengembangkan diri ataupun menuangkan ide-ide kreatif dalam usaha. Sehingga negara harus turun tangan dan bertanggung-jawab menyokong kebutuhan dasar masyarakat.

Menurut hemat penulis, Pancasila bukan hanya dapat diterapkan dalam bidang sosial-politik saja, tetapi juga dapat diterapkan dalam bidang ekonomi sebagaimana yang penulis jelaskan. Indonesia patut berbangga, karena para pendiri bangsa telah menyepakati konsensus kebangsaan dan dasar negara yang begitu kokoh dan kuat. Kunci mewujudkan Indonesia yang berdikari dalam ekonomi, bukan merubah mereka yang memangku kebijakan, tapi mereka yang memangku masa depan.

 

*Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Leave a Reply