JAKARTA, (21 April): Sore itu 12 Mei 1998 aktivis mahasiswa ini menjadi salah satu dari sedikitnya lima ribuan mahasiswa Trisakti yang bergerak menuju Gedung Parlemen DPR RI untuk menuntut keadilan. Ironis baru berjalan sekitar 300 meter dari kampus, rombongannya justru diserbu ratusan peluru tajam dan tembakan gas air mata.
Dengan mata kepalanya sendiri Wanda Hamidah menyaksikan langsung betapa ratusan peluru itu dilontarkan dan menghujam tubuh kawan-kawannya. Dia menyaksikan lautan darah dan peluru yang menempel di leher rekan-rekannya. Empat orang dikabarkan gugur dalam peristiwa ini.
Berapi-api, itulah kata yang bisa menggambarkan keberanian seorang Wanda Hamidah saat menjadi bagian dari masa peralihan pemerintahan orde baru menuju era reformasi.
Suasana kebatinan dan semangat perubahan seorang Wanda diceritakannya kembali saat menjadi pembicara di acara Lessons from Kartini: Spirit, Throught and Resistance yang berlangsung di @america, Jakarta, Kamis (19/4).
Wanda berharap kepada kita semua utamanya kaum perempuan agar bisa menghargai apa yang sudah bangsa kita raih saat ini. Bagaimana tidak, lanjut Wanda, suasana yang begitu mencekam menyelimuti anak-anak bangsa Indonesia yang pada saat itu dibungkam untuk tidak bisa mengeluarkan pendapatnya apalagi mengkritisi pemerintah.
“Suasana akses terhadap buku-buku tidak semudah saat ini termasuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan yang tidak sebebas seperti saat ini. Apalagi mengkritisi kebijakan pemerintah dan koleganya akan mendapat perlakuan yang menyeramkan,” ucap Wanda.
Awalnya Ketua Garda Wanita Malahayati Partai NasDem DKI Jakarta ini memilih untuk tidak terlibat di dunia pergerakan mahasiswa karena pada saat itu Wanda hanya melihat program kerja yang monoton dan itu-itu saja.
“Sebagai intelektual saat itu saya prihatin mengetahui ketimpangan tetapi terasa dibungkam seperti Kartini,” kata Wanda.
Tapi melihat sikap pemerintahan rezim Orde Baru yang menurutnya sudah kebablasan seperti monopoli ekonomi yang digulirkan pemerintah kepada keluarga dan koleganya maka akhirnya Wanda terpanggil untuk terlibat langsung di kancah pergerakan mahasiswa kala itu.
“Saya menginginkan adanya perubahan karena saat itu saya melihat ketimpangan sosial semakin besar, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin,” kata Wanda menceritakan pergolakan batinnya saat itu.
Meski banyak resiko ditangkap atau diculik, Tahun 1998 politisi NasDem ini memberanikan diri untuk mulai menggelar rapat bersama mahasiswa lainnya. Masih diliputi suasana yang menyeramkan Wanda dan aktivis 98 lainnya mulai menjalankan rencananya mindik-mindik dari satu tempat ke tempat lainnya sambil memastikan aktifitasnya itu tidak terlacak oleh pemerintah. Wanda sempat dikabarkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“5000 mahasiswa Trisakti turun ke jalan dan menjadi saksi peristiwa menyedihkan, di depan mata kepala saya 4 mahasiswa Trisakti harus ditembak,” kata Wanda.
Berkaca dari masa lalu, Wanda berharap masyarakat Indonesia saat ini bisa mensyukuri kebebasan demokrasi yang ada dengan tetap menjaga koridor kebebasan itu sendiri dan jangan sampai memecah belah persaudaraan di bumi NKRI.
“Kebebasan ini jangan disia-siakan dan juga jangan kebablasan seperti hoax saat ini tetap harus dalam koridor kebebasan,” kata Wanda berpesan.
Sebagai aktivis gender di era millenial, Wanda banyak belajar dari sosok Kartini yang pada masa itu mampu mendobrak kentalnya budaya patriarki yang berlaku di Indonesia dan menjadi fakta sosial hingga saat ini.
“Kartini itu dia stand up bukan cuma lisan dan tulisan tapi juga dengan perbuatan,” terang Wanda.
Wanda menilai kekerasan fisik dalam rumah tangga yang menempati urutan pertama setelah kekerasan seksual dan kekerasan psikis yang menimpa kaum perempuan dan anak diakibatkan oleh belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia.
“Ini akibat sistem patriarki yang oleh Kartini berusaha didobrak,” kata Wanda.
Menurut Wanda, masih banyak daerah yang belum mendapatkan gender equality seperti di pelosok Indonesia banyak ditemui wilayah yang belum ada listrik dan pendidikan yang setara.
“Kita bersyukur memiliki orang tua yang demokratis yang menyekolahkan kita di berbagai universitas ternama,” kata Wanda.
Seperti yang terbaru adalah maraknya fenomena pernikahan di bawah umur yang menurut Wanda harus sama-sama diupayakan untuk dirubah baik dari sisi stock of knowledge, mind set masyarakat serta regulasinya.
“Jangan lagi banyak perempuan yang menjadi korban dari peraturan, untuk itu perempuan harus maju dan terlibat di dunia politik untuk merubah hal itu,” sebut Wanda.
Wanda berharap perempuan juga bisa mendapat kesempatan yang sama dalam berkontribusi di bidang publik seperti pekerjaan dan politik kebijakan, Wanda menolak pembatasan pembatasan itu terhadap perempuan.
“Sebagai laki laki dan perempuan kita harus saling menghargai menghormati dan keduanya memiliki tanggung jawab yang sama juga terhadap domestik rumah tangga masing-masing,” pungkas Wanda.(*)