JAKARTA (6 Januari) – Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino menilai Gubernur Anis Baswedan tidak mampu mengeksekusi kebijakan strategis daerah terkait penuntasan banjir. Padahal, anggaran yang Rp1.7 triliun rupiah telah digelontorkan untuk penyelesaian masalah akut di DKI Jakarta. Terlebih 14 orang meninggal karena bencana banjir dan kerugian materil lainnya.
“Pemda DKI jangan banyak wacana bahwa akan melakukan ini itu tapi ‘do it’. Kami pada dasarnya tidak masalah mau konsep apa pun itu, ya lakukan dong. Normalisasi pun tidak dilanjutkan terus mau naturalisasi, nah kalau naturalisasi kan harus banyak tanam pohon, pohonnya juga dimana? katanya pinggiran sungai tak akan dibeton, melainkan dengan dibangun ruang terbuka hijau dan konservasi. Perlu dicatat yang meninggal 14 orang akibat banjir, ini nyawa manusia,” ujar Wibi di Jakarta, Senin (6/1).
Legislator muda NasDem itu mengatakan, Pemda DKI Jakarta tidak mengoptimalkan dana penuntasan banjir dengan maksimal. Misalnya pembebasan lahan, lokasi yang digusur di bantaran kali dibiarkan sangat lama, tidak ada pembangunan di tempat bekas penggusuran tersebut sehingga mengundang masyarakat untuk menempati bekas penggusuran tersebut.
“Tidak hanya itu, sungai-sungai yang belum dilakukan normalisasi juga masih banyak. Ada 13 kali di Jakarta ini yang kondisinya parah,” jelas Sekretaris DPW Partai NasDem DKI Jakarta itu.
Meski demikian, kata Wibi, Pemda DKI masih bisa beralasanan karena bendungan Ciawi dan Sukamahi secara fisik belum rampung. Menurutnya, ini tidak dijadikan indikator pekerjaan fisik Bendungan Ciawi saat ini mencapai 44%, sedangkan Bendungan Sukamahi baru 35%. Kedua bendungan tersebut direncanakan selesai pada akhir 2020. Padahal sempat ditargetkan selesai pada 2019.
“Jangan jadikan bendungan yang belum rampung sebagai alasan, terus langkah strategis tidak dilakukan, selama ini ngapain aja,” katanya geram.
Wibi mengimbau Pemda DKI segera mewujudkan konsep naturalisasi dalam bentuk nyata agar publik tahu kinerja Pemda DKI. Konsep naturalisasi selama ini apa? bagimana bentuknya? Masyarakat butuh bukti bukan wacana. (*)