Riset Ganja Medis untuk Kemaslahatan

You are currently viewing Riset Ganja Medis untuk Kemaslahatan

Oleh : Baruri Pasolima
Ketua DPW Petani NasDem DKI Jakarta

Kebijakan legalisasi ganja oleh Pemerintah Thailand pada 9 Juni 2022 silam membuka ruang hukum bagi rakyat Thailand untuk menanam ganja. Pada hari itu, pemerintah Thailand mengeluarkan ganja dari daftar narkotika Kategori 5. Namun legalisasi ganja tersebut tidak dikonsumsi untuk rekreasi melainkan penggunaannya untuk tanaman medis.

Sebelumnya pemerintah Thailand menerapkan kebijakan yang dikenal dengan ‘war on drugs’. Tujuan Thailand adalah untuk dapat mengatasi permasalahan drugs trafficing yang ada di kawasan golden triangle, sebuah nama yang disematkan oleh komunitas internasional terhadap kawasan perbatasan antara negara Thailand, Myanmar dan Laos. Selanjutnya, Thailand juga menjadi salah satu pendiri organisasi internasional anti narkotika di Asean yakni Asean senior officials on drug matters (ASOD). Dengan itu pemerintah Thailand semakin memperketat pelarangan ganja dengan menerapkan sikap zero tolerance.

Menariknya, kebijakan legalisasi ganja di Thailand didasari oleh kepentingan nasional. Diantaranya terkait persoalan ekonomi, mulai dari anggaran negara yang tinggi untuk penanganan pengedaran narkotika, sampai kesejahteraan petani ganja. Pemerintah Thailand juga sudah memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait budidaya tanaman ganja dengan batas yang telah disepakati, hanya menggunakan tanaman ganja sebagai obat tradisional rumahan.

Dalam sebuah tulisan karya Sam Levin (2016), menjelaskan bahwa di beberapa negara bagian Amerika Serikat yang masih belum mengizinkan pemanfaatan ganja sebagai bahan medis, sekitar empat ratus keluarga yang pindah ke negara bagian Colorado hanya untuk mendapatkan terapi Cannabinoid (CBD), yaitu salah satu zat yang ada pada kandungan ganja untuk mengobati penyakit yang diderita oleh keluarga mereka. Fenomena tersebut disebut sebagai “migrasi ganja medis internasional” (Levin, 2016). Melalui tulisan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan ganja medis akan memberikan keuntungan ekonomi yang didapatkan bagi negara pemberlaku ganja medis, mengingat banyak masyarakat di berbagai negara dunia penderita penyakit yang memerlukan penanganan ganja sebagai alternatif medisnya, seperti kanker, epilepsi, dan HIV/AIDS.

Professor Emeritus Psikiatri dari Universitas Harvard menyatakan bahwa pada abad ke-19, dokter lebih tahu banyak tentang ganja dan pada tahun 1800-an diantara kegunaan lainnya, ganja direkomendasikan sebagai penambah nafsu makan, pelemas otot, obat penenang analgesik, antikonvulsan, bahkan sebagai pengobatan untuk kecanduan opium (Mosher and Atkins, 2019). Selama periode tersebut, perusahaan-perusahaan farmasi besar yang berbasis di Amerika Serikat seperti Lilly, Bristol Meyers Squibb Company, Burroughs Wellcome di Inggris, Merck Company di Darmstadt, Jerman dan Parke-Davis menghasilkan banyak produk medis berbasis ganja (Mosher and Akins, 2007).

Selain itu, National Academies of Sciences, Engineering and Medicine (NASEM) pada tahun 2017 mengeluarkan sebuah kumpulan penelitian mengenai pemanfaatan ganja sebagai bahan medis. Dalam kesimpulannya, bahwa ternyata ganja efektif sebagai bantuan tidur untuk orang-orang dengan masalah tidur seperti sleep apnea, fibromyalgia, dan multiple sclerosis, begitu juga dengan penambah nafsu makan untuk penderita HIV/AIDS, mengurangi gejala Tourette, membantu meringankan kecemasan sosial, dan memberikan hasil yang lebih baik kepada cedera otak traumatis atau pendarahan intracranial (Mosher and Atkins, 2019).

Dalam konteks Indonesia, pembahasan tanaman ganja memang masih dihindari. Hal demikian dikarenakan adanya benteng hukum yang melarang penggunaan ganja. Aturan itu termaktub dalam UU No 35 tahun 2009 pasal 8 yang menyebutkan bahwa narkotika golongan 1 dilarang digunakan untuk pelayanan kesehatan, tanaman ganja masuk ke dalam daftar narkotika golongan tersebut.

Namun demikian, poin selanjutnya dikatakan bahwa Narkotika Golongan I tersebut dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia sangat mungkin melakukan riset ilmiah terkait kandungan ganja untuk medis.

Diketahui, Indonesia sedang diramaikan oleh wacana legalisasi ganja medis. Hal itu ditenggarai dengan adanya desakan kebutuhan tanaman ganja untuk keperluan pengobatan. Melalui media sosial, aksi Ibu Santi Warastuti yang menyuarakan aspirasinya di Car Free Day (CFD) Jakarta sedang membutuhkan penanganan penyakit putrinya menggunakan ganja medis. Pendiri Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara (YSN) Dhira Narayana merespons positif wacana legalisasi ganja medis di Indonesia. LGN yang sejak lama mengampanyekan ganja medis mendorong agar wacana itu dilanjutkan dengan aksi nyata, yakni melakukan riset ilmiah.

Hal serupa disampaikan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari bahwa Proses legalisasi ganja medis membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas; ilmu pengetahuan yang pasti; dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian. Ia menuturkan hasil penelitian yang ada nantinya dapat menjadi bahan masukan dalam merevisi UU Narkotika yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR. Revisi UU Narkotika sendiri telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2022. Maka penentuan kebijakan legalisasi ganja medis nantinya didasarkan pada metode ilmiah dengan berbagai tahapan.

Sementara, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyebut pemerintah kini mengkaji pembukaan akses penelitian terkait ganja medis. Menkes juga menjabarkan kaitan fungsi ganja dengan morfin. Sebagaimana diketahui, morfin masuk ke dalam golongan opium atau narkotik namun bisa digunakan untuk keperluan medis.

Ada sebuah teori yang mengatakan bahwa pelarangan NAPZA adalah merupakan penyebab utama terjadinya dampak buruk yang membahayakan individu, komunitas dan bangsa, sehingga perlu digantikan dengan pengendalian dan regulasi pemerintah yang efektif, adil dan berperikemanusiaan (Rolles and Murkin, 2013).

Pernyataan tersebut sejalan dengan sikap yang dikeluarkan oleh DPP Partai NasDem melalui ketua bidang kesehatan. Ketua Bidang Kesehatan Partai NasDem Okky Asokawati menyampaikan kebijakan legalisasi ganja harus melalui kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Mulai dari agama, hukum, termasuk budaya Indonesia. Ia juga menyampaikan mayoritas publik memiliki sudut pandang terhadap ganja jenis narkotika golongan I. Diharapkan, kajian yang multi-perspektif memperkaya pandangan masyarakat atas wacana legalisasi ganja.

Ramainya diskursus ganja medis di tanah air tersebut, turut menyulut api semangat kelompok muda yang tergabung di dalam salah satu organisasi sayap partai, yakni petani NasDem DKI Jakarta. Pengurus DPW Petani NasDem terpancing untuk terlibat memberikan opini terkait wacana legalisasi ganja medis. Hal ini didorong oleh pola pikir skeptisisme sebagai sifat dasar cendekiawan dan intelektual.

DPW Petani Nasdem DKI Jakarta yang dikenal sebagai organisasi petani milenial meminta pemerintah untuk memberikan ruang bebas bagi ilmu pengetahuan utamanya terkait dengan riset ganja medis. Sebagaimana permenristekdikti no 20 tahun 2018 tentang penelitian, mengatakan bahwa metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi.

Kelompok petani milenial ini berasumsi bahwa penelitian ganja medis sangat dimungkinkan menggunakan pendekatan penelitian terapan, sebagaimana tertuang dalam pasal (2) poin (2) yaitu Jenis penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan solusi atas permasalahan tertentu. Dikatakan juga dalam permen tersebut, semua pihak yang memiliki kompetensi dapat melakukan penelitian, tak terkecuali terkait ganja medis.

Melihat fenomena ganja medis di Indonesia ini merupakan isu populis. Berbeda dengan Thailand, penelitian ganja medis mendesak dikarenakan kebutuhan rakyat Indonesia untuk pengobatan. Artinya, penelitian itu dilakukan demi kemaslahatan masyarakat Indonesia. Pernyataan tersebut ditegaskan dalam UU no 11 tahun 2019 tentang sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Aturan itu tertulis dalam pasal (2) Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi salah satunya berasaskan kemaslahatan.

Lebih lanjut, pada pasal (3) dikatakan juga tujuan Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk pembangunan nasional berkelanjutan, kualitas hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Maka tidak ada alasan bagi pemangku kebijakan di negeri ini untuk menghalangi dalam melakukan penelitian ganja medis.

Diketahui, Petani NasDem DKI Jakarta menjadikan fokus gerakan organisasinya pada riset pertanian. Tak dipungkiri bahwa peningkatan nilai jual atau nilai tambah terhadap produk pertanian melalui inovasi teknologi. Maka Hilirisasi Komoditas pertanian Indonesia dipandang penting untuk meningkatkan value added. Dengan demikian, pasar pertanian Indonesia membutuhkan tangan kreatif para anak muda.(*)

Note : Tulisan di atas Hasil Diskusi Bidang Kajian Strategis dan Litbang DPW Petani NasDem DKI Jakarta

Leave a Reply